Cerpen Hits Horror Karya Chandra W Hartato: Rahasia Ulang Tahun Termanis


Rahasia Ulang Tahun Termanis








             Papa meletakkan alat itu di sembarang tempat. Sifat alami yang diturunkan padaku yaitu teledor meletakkan benda-benda penting seperti itu. Namun, aku mengurungkan niat untuk mengembalikan benda milik papa. Akhirnya, aku simpan dalam tasku saja jika ada keperluan mendadak. Naluri berkata aku membutuhkan benda ini dan disaat kebutuhanku terpenuhi aku pasti mengembalikannya.
            “Kau mau pergi kemana, Elka?”
            “Emmm, ke rumah...anu?” Aku bergumam memutar jemariku sesekali memegang blazer kelabu yang aku pakai.
            “Blazer baru ya?” Papa menaikkan alisnya mengamati pakaian tak biasaku. “Ke rumah kekasih barumu?” Tampaknya papa mulai peka.
            “Emm, Kinta yang menyuruhku datang ke ulang tahunnya dengan memakai blazer pemberiannya ini.”Jawabku.
            “Oh, baik juga gadis itu.”
            “Jadi, papa mengijinkan aku pergi kan?”
            “Yah, tapi cuaca mendung. Bawalah jas hujan!”
            “Makasih, Pa”
            “Ingat, jangan pulang larut malam! Entah perasaan papa tak enak jika kau pulang terlalu malam.”
            “Siap, Papa! Aku yakin bisa jaga diri”
***
            Kinta sudah menunggu di depan teras sambil sesekali melihat jam tangannya. Ternyata, titik-titik air mulai turun dari awan kelabu saat motorku berada di depan rumahnya. Wajah Kinta terlihat lelah, mungkin karena ia menungguku terlalu lama. Sepertinya, Kinta juga mengenakan gaun di hari spesialnya. Gaun Kinta serba merah dihiasi renda warna hitam. Sungguh kecantikan Kinta mengalihkan perhatianku.
            “Maaf, menungguku pasti membosankan.”Kataku.
            “Tidak apa-apa, melihat hujan sudah cukup mengatasi rasa kebosananku.”Kinta tersenyum. “Kau sangat manis mengenakan blazer  ini.” Imbuhnya.
            “Kau juga sangat menawan.” Pujiku padanya. Oh iya, mana teman-temanmu? bukankah ini pesta ulang tahunmu kan?”Tanyaku
            “Mereka akan aku undang di hari lain.”Katanya.
            “Berarti pesta ini spesial untuk kita berdua?”Aku meyakinkannya.
            “Begitulah, sejak kedua orang tuaku tiada kaulah yang termanis bagiku.”Kinta
            “Jangan menggombal lagi, aku sudah nggak sabar ingin makan-makan nih.”
            “Oh, jadi kamu belum makan?” Kinta berjalan perlahan-lahan ke arah dapur sambil menyiapkan sesuatu.”Masakan ini aku buat khusus untuk lelaki termanisku hari ini.”
            Aku mengernyitkan dahi “Kau tidak biasanya menyiapkan semua makanan ini. Steak, sosis bakar, meatball soup.”
            “Ini semua khusus untukmu.Ayo cicipi!”
            “Hmm, tumben kamu masak ini semua!” Pandangaku tertuju pada steak jamur buatan Kinta dan rasanya pun benar-benar bikin ketagihan.
            Kinta sendiri memakan meatball soup nya. Ia sangat rapi saat memakan sesuatu bahkan ia menikmati meatball dengan perlahan-lahan. Sungguh, ia benar-benar membuatku kagum bahkan saat makan sekalipun dia tidak meninggalkan noda di meja atau pun di bibrnya. Salah, jika aku membayangkan noda bibir membekas di bibirnya yang menawan itu lalu mengusapnya dengan pandangan lebih intens. Itu sangat klise sekali seperti adegan sinetron yang direncanakan skenario.
            “Kau membuat semua ruangan ini bertema merah?” Aku sangat kagum dengan dekorasinya yang hangat dibalik dinginnya hujan ini.
            “Kenapa, kau tidak menyukainya?”
            “Tidak, hanya saja aku tak percaya kau bisa menyulap semua ini.”
            “Pertama kali saat bertemu denganmu aku selalu ingat warna merah, entah mungkin kau punya aura yang cukup berani untuk menembakku saat itu.” Kinta memandangiku cukup lama.
            “Uhuk...uhuk.”Aku tersedak karena aku tak sabar ingin ngobrol saat makan.
            Kinta terlihat bingung. Ia mengambilkan aku teh panas, tapi aku menolaknya. Saat tersedak, aku selalu bingung mengambil air es. Akhirnya, aku berlari ke dapur mencari sesuatu di lemari es. Saat hendak membuka lemari es, Kinta tiba-tiba berteriak karena tanpa sengaja menumpahkan jus strawberry. Spontan aku menutup lemari es kembali dan membersihkan noda yang terciprat di gaun Kinta.
            “Eh, tidak apa-apa, Elka.” Kinta terlihat cemas. “Kau minum jus strawberryku saja.”
            Aku meminum sisa jus strawberry yang belum tumpah hanya untuk menghilangkan sesuatu yang mengganjal tenggorokanku. Rupanya, Kinta merasa cemas dan bersalah. Namun, aku tetap menenangkannya.
            “Ini hari ulang tahunmu, sayang! Tenanglah!”
            “Yah, aku sudah agak tenang.”
            “Syukurlah.”
            “Terimakasih, Elka.”
            “Untuk apa? Maaf, aku tidak membawa hadiah untukmu.
            “Kamulah ulang tahun termanisku.” Kinta hendak memelukku dengan erat. Ada sebuah tanda mirip luka pada lehernya. Namun, suara bel rumah membuyarkan suasana seiring dengan suara sambaran petir.
            Kinta segera berlari menghampiri pintu dan membukanya perlahan-lahan.
            “Maaf, aku datang mendadak karena aku baru ingat ini hari ulang tahunmu, apa aku mengganggu kalian?” Tanya seorang wanita tua berkebaya merah itu.
            “Tidak sama sekali, aku senang ada teman baru disini!” Jawabku.
            “Kenalkan, ini tante Indri. Dia sering memasak makanan buatku.”Ia memperkenalkan wanita setengah baya ini padaku.
            Tante Indri membawakan kotak makanan yang lumayan besar. Isinya hotdog dan burger berukuran besar. Ia membuatkan masakan itu khusus untuk Kinta dan aku. Melihat makanan jumbo buatan Tante Indri, perutku seperti kenyang lebih dulu sebelum makan. Tante Indri sosok wanita yang sangat kalem tutur katanya, mungkin karena itu Kinta menemukan sosok ibu dari dirinya.
            “Ya ampun kunci kontak motorku masih belum kulepas.”Aku baru teringat dan berlari menuju teras. Tak lama kemudian,aku segera kembali ke ruang makan. Tapi, ada sesuatu yang membuat langkahku terhenti. Aroma dupa ratus bercampur kemenyan tiba-tiba semerbak dalam satu ruangan penuh.
            “Ayo nak Elka, dicicipi masakan Tante!” Tante Indri menyodorkan burger itu padaku.
            “Sebentar, aku cicipi dulu ya!”Kinta mencomot daging yang ada dalam  burger dan memakannya sedikit lalu menelannya.
            “Gimana Kinta burger sapi dan hotdog ayamnya?”Tanya Tante Indri.
            “Enak, bukan daging biasanya.” Jawab Kinta. Lalu ia memberikan burger itu padaku. “Yah, bener ini daging sapi yang enak!”Kinta menawarkannya padaku lalu aku memakannya juga.
             Kinta juga mencicipi hotdog buatan Tante Indri. Aku heran mengapa Kinta selalu mencicipi semua masakan Tante Indri sebelum memberikan itu semua padaku.
            “Ehem, ternyata seperti ini rasa daging ayam.” Kata Kinta seraya menyodorkan hotdog itu padaku.
            Aku hanya bisa tersenyum dan berusaha mencari tahu rasa penasaranku.

            “Semua daging ini khusus Tante buatin untukmu Kinta.”
            “Ternyata, selama ini kau bukan vegetarian ya?”Tanyaku pada Kinta.
            “Aku hanya memakan daging buatan Tante Indri saja.”Jawab Kinta.
            Aku langsung tercengang mendengar perkataan Kinta barusan. Sepertinya, Kinta baru saja merasakan rasa daging sapi. Ia juga sepertinya pertama kali memakan daging ayam olahan asli. Jadi, selama ini Tante Indri membuat daging dari apa? Apakah babi? Ular?
            “Mengapa, kau melamun Elka?”Tanya Tante Indri.
            “Tante boleh aku bertanya sesuatu?”Tanyaku dengan jantung berdebar.
            “Apakah tante membuatkan daging lain untuk Kinta selain ayam dan sapi?”
            “Mengapa kau bertanya seperti itu, Manis?”Tanya Kinta.
            “Kau tidak biasa memanggilku Manis, Kinta! “Aku meyakinkan diriku untuk menguak semua misteri yang tersembunyi dibalik pesta ulang tahun ini.
            “Kinta ingin memanggilmu di hari spesial ini, Elka.”Tante Indri ikut melibatkan diri.
            “Apakah kata ‘Manis’ adalah sebuah kode?” Tanyaku menegaskan sekali lagi.
            “Elka, kau tak perlu memikirikan sejauh....”Kinta belum melesaikan jawabannya.
            Tante Indri menyahut,” Katakan jika kau berani apa maksud ini semua?”
            ‘Manis’ kalian menyebutku? Hebat sekali! Manis disini adalah....”Elka menelan ludah.
            “Katakan dengan lantang!”Ekspresi Tante Indri langsung melotot. Tingkah lakunya yang lembut sirna sudah.
            “Manis disini adalah dagingku kan? Kalian akan memakanku hidup-hidup?”
            “Cukup Elka! Bagaimana kau bisa berpikir seperti itu!”
            “Tato mata satu yang ada di tangan kananmu, pernah kulihat sama dengan tanda di leher Kinta saat ia membersihkan noda jus strawberry bersama denganku. Aku baru menyadari saat ia hendak memelukku. Terjawab sudah,  kalian penganut sekte kanibalisme”
            Tante Indri tertawa terbahak-bahak sambil menepuk tangannya “Cerdas..brilian, tapi sayang, kamu harus rela menjadi daging terlezat bagi kami di pesta ulang tahun termanis ini karena ‘ulang tahun termanis’ merupakan kode rahasia yang berarti kami harus menyantapmu. Kinta sudah memberikan aba-aba denganku tepat pukul 9 malam. Satu langkah lagi misiku pasti berhasil.” Tante Indri hendak menerkamku seraya membawa sebilah pisau daging yang lumayan besar.
            Aku berlari menuju pintu terluar. Namun, apa daya pintunya sengaja dikunci.
            “Bantu Tante lumpuhkan dia, Kinta!”Teriak Tante Indri.
            Berusaha sekuat tenaga memecahkan jendela namun kaca itu sepertinya sengaja didesain tebal agar penghuni rumah bisa mengurung mangsanya dengan kuat. Berteriak minta tolong percuma karena suara hujan semakin deras. Disamping itu, rumah Kinta dikelilingi hutan cemara kecil yang agak jauh dari pemukiman.
            Baru kuingat aku mengambil senjata milik papa yang biasa digunakan melumpuhkan penjahat sebelum berangkat kesini. Bodohnya, aku meletakkan senjata itu didalam tas yang aku tinggal di meja makan. Aku tak bisa berlari kemana-mana selain jalan tembusan menuju dapur. Aku berlari menuju dapur mencari sesuatu untuk membela diri tapi.
            “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaa......tolong!!!!!!” Aku menjerit saat kaki kanan ku diseret oleh iblis tua itu dan ia berhasil menyayat kaki kananku. Aku terus berusaha menendang-nendang kepalanya sekuat tenaga sampai ia berhasil aku hempaskan menuju guci besar hingga ia tersungkur memcahkan guci itu.
            Aku mencari sesuatu di dalam lemari “Senjata? Mana senjata?” Pikuranku gelisah. Aku membuka lemari es yang penuh dengan isi daging-daging yang sudah kuduga daging manusia. Hanya ada botol cabe bubuk. Aku hanya meraih cabe bubuk itu dengan kaki terseok-seok.
            “Mau kemana lagi kau bocah!” Tante Indri semakin murka ingin menghabisiku, ia menyeret kedua kakiku bersama-sama dengan Kinta, kali ini dua iblis menyeretku hidup-hidup.  Aku tak berdaya.
            Kinta memegangi kedua kakiku dan Tante Indri berhasil mencekik leherku. Mata pisau itu semakin dekat dada. Aku tak bisa berkutik.
            “Manis!..ckckck jangan lari sayang... ucapkan selamat tinggal pada kekasihmu!” Aku menyemprotkan bubuk cabe pada kedua mata Tante Indri namun meleset. Ia semakin marah.
            “Papa, maafkan aku. Ternyata, aku tak mampu menjaga diriku.”Aku mulai memejamkan mata. Terlihat Tante Indri mulai siap merobek jantungku dengan pisaunya.
            “Dooooor...doooor..dor..dor!!!” Suara tembakan dari arah belakang. Kakiku tak bisa bergerak tapi aku terkejut dengan suara itu.
            Tante Indri tergeletak di depanku. Dua peluru menancap di pelipis dan dahinya. Kinta berhasil membunuhnya dengan pistol papa. Darah Tante Indri menggenangi kedua kakiku. Ia tewas dengan posisi memeluk dadaku. Sungguh mengerikan, bau darah yang anyir membuatku ingin muntah tapi apa daya kakiku tak bisa bergerak.
            “Kinta!...Terima Kasih.”Ucapku sambil menahan kesakitan.
            “Aku melihat pistol di tasmu karena tas itu terbuka.” Kinta menangis sejadi-jadinya. Ia merasa berdosa telah membuatku seperti ini.
            “Yah, sekarang carilah pertolongan segera!” Aku memberikan ponselku pada Kinta agar ia menghubungi papa.
            Kinta segera menelepon papa “Halo, tolong segera datang ke lokasi Villa Lavender, Pak. Korban luka berat di kedua kaki karena hampir menjadi korban sekte kanibalisme. Dengan ini, saya menyerahkan diri sebagai tersangka karena ikut terlibat dalam masalah ini.” Ia tak mampu melanjutkan kata-kata lewat telepon karena tak kuat menahan tangis. Sedangkan suara papa terlihat cemas mencari perolongan pada rekan kepolisian yang lain.
            “Maafkan aku, ...”Ucapnya seraya menangis terisak-isak dan mengecup keningku.
            Aku hanya bisa mengangguk dan memegang pipinya yang halus.
(Malang. 15 September 2018, 01.00 a.m)

Comments