Rahasia Ulang Tahun Termanis
Papa meletakkan alat itu di sembarang tempat. Sifat alami yang
diturunkan padaku yaitu teledor meletakkan benda-benda penting seperti itu.
Namun, aku mengurungkan niat untuk mengembalikan benda milik papa. Akhirnya,
aku simpan dalam tasku saja jika ada keperluan mendadak. Naluri berkata aku
membutuhkan benda ini dan disaat kebutuhanku terpenuhi aku pasti
mengembalikannya.
“Kau mau pergi
kemana, Elka?”
“Emmm, ke
rumah...anu?” Aku bergumam memutar jemariku sesekali memegang blazer kelabu
yang aku pakai.
“Blazer baru ya?”
Papa menaikkan alisnya mengamati pakaian tak biasaku. “Ke rumah kekasih
barumu?” Tampaknya papa mulai peka.
“Emm, Kinta yang
menyuruhku datang ke ulang tahunnya dengan memakai blazer pemberiannya
ini.”Jawabku.
“Oh, baik juga
gadis itu.”
“Jadi, papa
mengijinkan aku pergi kan?”
“Yah, tapi cuaca
mendung. Bawalah jas hujan!”
“Makasih, Pa”
“Ingat, jangan
pulang larut malam! Entah perasaan papa tak enak jika kau pulang terlalu
malam.”
“Siap, Papa! Aku
yakin bisa jaga diri”
***
Kinta sudah
menunggu di depan teras sambil sesekali melihat jam tangannya. Ternyata,
titik-titik air mulai turun dari awan kelabu saat motorku berada di depan
rumahnya. Wajah Kinta terlihat lelah, mungkin karena ia menungguku terlalu lama.
Sepertinya, Kinta juga mengenakan gaun di hari spesialnya. Gaun Kinta serba
merah dihiasi renda warna hitam. Sungguh kecantikan Kinta mengalihkan
perhatianku.
“Maaf, menungguku
pasti membosankan.”Kataku.
“Tidak apa-apa,
melihat hujan sudah cukup mengatasi rasa kebosananku.”Kinta tersenyum. “Kau
sangat manis mengenakan blazer ini.”
Imbuhnya.
“Kau juga sangat
menawan.” Pujiku padanya. Oh iya, mana teman-temanmu? bukankah ini pesta ulang
tahunmu kan?”Tanyaku
“Mereka akan aku
undang di hari lain.”Katanya.
“Berarti pesta ini
spesial untuk kita berdua?”Aku meyakinkannya.
“Begitulah, sejak
kedua orang tuaku tiada kaulah yang termanis bagiku.”Kinta
“Jangan menggombal
lagi, aku sudah nggak sabar ingin makan-makan nih.”
“Oh, jadi kamu
belum makan?” Kinta berjalan perlahan-lahan ke arah dapur sambil menyiapkan
sesuatu.”Masakan ini aku buat khusus untuk lelaki termanisku hari ini.”
Aku mengernyitkan
dahi “Kau tidak biasanya menyiapkan semua makanan ini. Steak, sosis bakar, meatball
soup.”
“Ini semua khusus
untukmu.Ayo cicipi!”
“Hmm, tumben kamu
masak ini semua!” Pandangaku tertuju pada steak jamur buatan Kinta dan rasanya
pun benar-benar bikin ketagihan.
Kinta sendiri
memakan meatball soup nya. Ia sangat rapi saat memakan sesuatu bahkan ia
menikmati meatball dengan perlahan-lahan. Sungguh, ia benar-benar
membuatku kagum bahkan saat makan sekalipun dia tidak meninggalkan noda di meja
atau pun di bibrnya. Salah, jika aku membayangkan noda bibir membekas di
bibirnya yang menawan itu lalu mengusapnya dengan pandangan lebih intens. Itu
sangat klise sekali seperti adegan sinetron yang direncanakan skenario.
“Kau membuat semua
ruangan ini bertema merah?” Aku sangat kagum dengan dekorasinya yang hangat
dibalik dinginnya hujan ini.
“Kenapa, kau tidak
menyukainya?”
“Tidak, hanya saja
aku tak percaya kau bisa menyulap semua ini.”
“Pertama kali saat
bertemu denganmu aku selalu ingat warna merah, entah mungkin kau punya aura
yang cukup berani untuk menembakku saat itu.” Kinta memandangiku cukup lama.
“Uhuk...uhuk.”Aku
tersedak karena aku tak sabar ingin ngobrol saat makan.
Kinta terlihat
bingung. Ia mengambilkan aku teh panas, tapi aku menolaknya. Saat tersedak, aku
selalu bingung mengambil air es. Akhirnya, aku berlari ke dapur mencari sesuatu
di lemari es. Saat hendak membuka lemari es, Kinta tiba-tiba berteriak karena
tanpa sengaja menumpahkan jus strawberry. Spontan aku menutup lemari es kembali
dan membersihkan noda yang terciprat di gaun Kinta.
“Eh, tidak
apa-apa, Elka.” Kinta terlihat cemas. “Kau minum jus strawberryku saja.”
Aku meminum sisa
jus strawberry yang belum tumpah hanya untuk menghilangkan sesuatu yang
mengganjal tenggorokanku. Rupanya, Kinta merasa cemas dan bersalah. Namun, aku
tetap menenangkannya.
“Ini hari ulang
tahunmu, sayang! Tenanglah!”
“Yah, aku sudah
agak tenang.”
“Syukurlah.”
“Terimakasih,
Elka.”
“Untuk apa? Maaf,
aku tidak membawa hadiah untukmu.
“Kamulah ulang
tahun termanisku.” Kinta hendak memelukku dengan erat. Ada sebuah tanda mirip
luka pada lehernya. Namun, suara bel rumah membuyarkan suasana seiring dengan
suara sambaran petir.
Kinta segera
berlari menghampiri pintu dan membukanya perlahan-lahan.
“Maaf, aku datang
mendadak karena aku baru ingat ini hari ulang tahunmu, apa aku mengganggu
kalian?” Tanya seorang wanita tua berkebaya merah itu.
“Tidak sama
sekali, aku senang ada teman baru disini!” Jawabku.
“Kenalkan, ini
tante Indri. Dia sering memasak makanan buatku.”Ia memperkenalkan wanita
setengah baya ini padaku.
Tante Indri
membawakan kotak makanan yang lumayan besar. Isinya hotdog dan burger berukuran
besar. Ia membuatkan masakan itu khusus untuk Kinta dan aku. Melihat makanan
jumbo buatan Tante Indri, perutku seperti kenyang lebih dulu sebelum makan.
Tante Indri sosok wanita yang sangat kalem tutur katanya, mungkin karena itu
Kinta menemukan sosok ibu dari dirinya.
“Ya ampun kunci
kontak motorku masih belum kulepas.”Aku baru teringat dan berlari menuju teras.
Tak lama kemudian,aku segera kembali ke ruang makan. Tapi, ada sesuatu yang membuat
langkahku terhenti. Aroma dupa ratus bercampur kemenyan tiba-tiba semerbak
dalam satu ruangan penuh.
“Ayo nak Elka,
dicicipi masakan Tante!” Tante Indri menyodorkan burger itu padaku.
“Sebentar, aku
cicipi dulu ya!”Kinta mencomot daging yang ada dalam burger dan memakannya sedikit lalu
menelannya.
“Gimana Kinta
burger sapi dan hotdog ayamnya?”Tanya Tante Indri.
“Enak, bukan
daging biasanya.” Jawab Kinta. Lalu ia memberikan burger itu padaku. “Yah, bener
ini daging sapi yang enak!”Kinta menawarkannya padaku lalu aku memakannya juga.
Kinta juga mencicipi hotdog buatan Tante
Indri. Aku heran mengapa Kinta selalu mencicipi semua masakan Tante Indri
sebelum memberikan itu semua padaku.
“Ehem, ternyata
seperti ini rasa daging ayam.” Kata Kinta seraya menyodorkan hotdog itu padaku.
Aku hanya bisa
tersenyum dan berusaha mencari tahu rasa penasaranku.
“Semua daging ini
khusus Tante buatin untukmu Kinta.”
“Ternyata, selama
ini kau bukan vegetarian ya?”Tanyaku pada Kinta.
“Aku hanya memakan
daging buatan Tante Indri saja.”Jawab Kinta.
Aku langsung
tercengang mendengar perkataan Kinta barusan. Sepertinya, Kinta baru saja
merasakan rasa daging sapi. Ia juga sepertinya pertama kali memakan daging ayam
olahan asli. Jadi, selama ini Tante Indri membuat daging dari apa? Apakah babi?
Ular?
“Mengapa, kau
melamun Elka?”Tanya Tante Indri.
“Tante boleh aku
bertanya sesuatu?”Tanyaku dengan jantung berdebar.
“Apakah tante
membuatkan daging lain untuk Kinta selain ayam dan sapi?”
“Mengapa kau
bertanya seperti itu, Manis?”Tanya Kinta.
“Kau tidak biasa
memanggilku Manis, Kinta! “Aku meyakinkan diriku untuk menguak semua misteri
yang tersembunyi dibalik pesta ulang tahun ini.
“Kinta ingin
memanggilmu di hari spesial ini, Elka.”Tante Indri ikut melibatkan diri.
“Apakah kata
‘Manis’ adalah sebuah kode?” Tanyaku menegaskan sekali lagi.
“Elka, kau tak
perlu memikirikan sejauh....”Kinta belum melesaikan jawabannya.
Tante Indri
menyahut,” Katakan jika kau berani apa maksud ini semua?”
‘Manis’ kalian
menyebutku? Hebat sekali! Manis disini adalah....”Elka menelan ludah.
“Katakan dengan
lantang!”Ekspresi Tante Indri langsung melotot. Tingkah lakunya yang lembut
sirna sudah.
“Manis disini
adalah dagingku kan? Kalian akan memakanku hidup-hidup?”
“Cukup Elka!
Bagaimana kau bisa berpikir seperti itu!”
“Tato mata satu
yang ada di tangan kananmu, pernah kulihat sama dengan tanda di leher Kinta
saat ia membersihkan noda jus strawberry bersama denganku. Aku baru menyadari
saat ia hendak memelukku. Terjawab sudah,
kalian penganut sekte kanibalisme”
Tante Indri
tertawa terbahak-bahak sambil menepuk tangannya “Cerdas..brilian, tapi sayang,
kamu harus rela menjadi daging terlezat bagi kami di pesta ulang tahun termanis
ini karena ‘ulang tahun termanis’ merupakan kode rahasia yang berarti kami
harus menyantapmu. Kinta sudah memberikan aba-aba denganku tepat pukul 9 malam.
Satu langkah lagi misiku pasti berhasil.” Tante Indri hendak menerkamku seraya
membawa sebilah pisau daging yang lumayan besar.
Aku berlari menuju
pintu terluar. Namun, apa daya pintunya sengaja dikunci.
“Bantu Tante
lumpuhkan dia, Kinta!”Teriak Tante Indri.
Berusaha sekuat
tenaga memecahkan jendela namun kaca itu sepertinya sengaja didesain tebal agar
penghuni rumah bisa mengurung mangsanya dengan kuat. Berteriak minta tolong
percuma karena suara hujan semakin deras. Disamping itu, rumah Kinta
dikelilingi hutan cemara kecil yang agak jauh dari pemukiman.
Baru kuingat aku
mengambil senjata milik papa yang biasa digunakan melumpuhkan penjahat sebelum
berangkat kesini. Bodohnya, aku meletakkan senjata itu didalam tas yang aku
tinggal di meja makan. Aku tak bisa berlari kemana-mana selain jalan tembusan
menuju dapur. Aku berlari menuju dapur mencari sesuatu untuk membela diri tapi.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaa......tolong!!!!!!”
Aku menjerit saat kaki kanan ku diseret oleh iblis tua itu dan ia berhasil
menyayat kaki kananku. Aku terus berusaha menendang-nendang kepalanya sekuat
tenaga sampai ia berhasil aku hempaskan menuju guci besar hingga ia tersungkur
memcahkan guci itu.
Aku mencari sesuatu
di dalam lemari “Senjata? Mana senjata?” Pikuranku gelisah. Aku membuka lemari
es yang penuh dengan isi daging-daging yang sudah kuduga daging manusia. Hanya
ada botol cabe bubuk. Aku hanya meraih cabe bubuk itu dengan kaki terseok-seok.
“Mau kemana lagi
kau bocah!” Tante Indri semakin murka ingin menghabisiku, ia menyeret kedua
kakiku bersama-sama dengan Kinta, kali ini dua iblis menyeretku
hidup-hidup. Aku tak berdaya.
Kinta memegangi
kedua kakiku dan Tante Indri berhasil mencekik leherku. Mata pisau itu semakin
dekat dada. Aku tak bisa berkutik.
“Manis!..ckckck
jangan lari sayang... ucapkan selamat tinggal pada kekasihmu!” Aku
menyemprotkan bubuk cabe pada kedua mata Tante Indri namun meleset. Ia semakin
marah.
“Papa, maafkan
aku. Ternyata, aku tak mampu menjaga diriku.”Aku mulai memejamkan mata.
Terlihat Tante Indri mulai siap merobek jantungku dengan pisaunya.
“Dooooor...doooor..dor..dor!!!”
Suara tembakan dari arah belakang. Kakiku tak bisa bergerak tapi aku terkejut
dengan suara itu.
Tante Indri
tergeletak di depanku. Dua peluru menancap di pelipis dan dahinya. Kinta
berhasil membunuhnya dengan pistol papa. Darah Tante Indri menggenangi kedua
kakiku. Ia tewas dengan posisi memeluk dadaku. Sungguh mengerikan, bau darah
yang anyir membuatku ingin muntah tapi apa daya kakiku tak bisa bergerak.
“Kinta!...Terima
Kasih.”Ucapku sambil menahan kesakitan.
“Aku melihat
pistol di tasmu karena tas itu terbuka.” Kinta menangis sejadi-jadinya. Ia
merasa berdosa telah membuatku seperti ini.
“Yah, sekarang
carilah pertolongan segera!” Aku memberikan ponselku pada Kinta agar ia
menghubungi papa.
Kinta segera
menelepon papa “Halo, tolong segera datang ke lokasi Villa Lavender, Pak.
Korban luka berat di kedua kaki karena hampir menjadi korban sekte kanibalisme.
Dengan ini, saya menyerahkan diri sebagai tersangka karena ikut terlibat dalam
masalah ini.” Ia tak mampu melanjutkan kata-kata lewat telepon karena tak kuat
menahan tangis. Sedangkan suara papa terlihat cemas mencari perolongan pada
rekan kepolisian yang lain.
“Maafkan aku,
...”Ucapnya seraya menangis terisak-isak dan mengecup keningku.
Aku hanya bisa
mengangguk dan memegang pipinya yang halus.
(Malang. 15 September 2018, 01.00 a.m)
Comments