Cerpen Based On True Story 'Musik Penutup Rembulan Senja' by Chandra W. Hartato


Musik Penutup Rembulan Senja
Based on the true story (Chandra W.Hartato)




          “Maaf, kami tidak butuh orang yang belum berpengalaman, kami tak bisa mengajarkan semua karyawan dari nol. Jadi, tunggu informasi lewat email, mungkin ada peluang lain yang sesuai dengan kemampuan anda.” Sungguh penolakan yang sudah kesekian kalinya aku terima.  Sembari lelah membawa hasil yang menurutku sia-sia, aku menyegarkan tenggorokan di warung Mbok Tin.
            “Gimana? Wis dapat kerja?” Mbok Tin menyapaku sambil menguleg sambal.
            “Yah, ginilah, Mbok. Ditolak terus. Dawetnya satu nggih, Mbok!” Aku mencomot koran baru yang tergeletak di depan, mungkin saja ada lowongan baru di koran. Namun, nihil. Tak ada lowongan yang sesuai denganku.
            “Hmmm...sambel kemangi ya Mbok?” Aroma kemangi bercampur sambal membuat perutku keroncongan.
            “Kalau mau tak buatin.”
            “Nggak usah mbok, aku nggak mau pedes, jadi pesen..”
            “Pecel nggak pakai kacang?”
            “Yah, bukan pecel dong Mbok, nggado sayur tok.”
            “Hahaha, aku wis eroh kebiasaan mu le. Ngomong-ngomong sambel kemangi, kowe eruh tau krungu ora lagu campursari sing judul e Sambel Kemangi?”
            “Ndak tau mbok.”
            “Jaman saiki seneng lagu sing cinta cinta nggak ono juntrungan e ancen. Padahal, lagu iku apik tenan artine.
            Enak opo wong urip ono ing alam dunyo
             Yen wegah rekoso urip ora biso mulyo
            Kudangane romo lan ibune
            Sregepo nyambut gawe ojo lali gustine”
            “Tapi kan mbok, saya belum nyambut gawe.”Jawabku
            “Mungkin sampean di takdirkan seperti ini sementara supaya bisa lebih dekat sama Gusti Allah. Ojo lali gustine” Nasihat Mbok Tin.
            “Rasane aku kayak gak berguna mbok, perusahaan nggak butuh saya, saya nggak dibutuhkan siapa-siapa.”
             “Heh, dawet nggak pakai santan enak?”
            Aku menggelangkan kepala.
            “Santan nggak pakai dawet enak ora?”Tanya si mbok
            “Sama aja mbok kayak pecel gak pakai kacang tadi?”
            Mbok Tin tertawa dan berkata,” Semua di dunia ini saling membutuhkan ibarat makanan dan minuman itu. Masih banyak diluar yang butuh kamu tole..percoyo nang Mbok wis!
***
            “Buka pintu, cepat!!” Adik terkunci dari kamar mandi. Ya Allah, kejadian apa lagi yang kutemui.
            “Obeng..obeng!!” Bapak menyuruhku mengambil obeng untuk mencongkel pegangan pintu
            “Sebentar!” Aku pun berusaha mencari obeng. Konsentrasiku pecah sehingga tidak tahu letak obeng biasanya.
            “Udah ketemu belum? Di kaleng bawah lemari?” Teriak Bapak.
            “Dimana ya?” Aku berusaha mencarinya.
            “Kelamaan, “ Bapak merasa jengkel. Ia mengambil obeng warna hijau tepat berada di dekat punggungku saat merunduk di kolong lemari. “Sudahlah, balik ke kamarmu, aku ga butuh bantuanmu lagi!”
            Lengkap sudah, memang aku benar-benar tidak dibutuhkan. Hanya masalah kecil. Perasaanku saja yang terlalu sensitif menanggapi komentar Bapak.  Kenyataannya, memang aku tak bisa diandalkan baik dalam keluarga maupun karir. Payah, itulah yang ada di pikiranku.
            :”Assalamualaikum Mas Galih.” Nia adik tingkat saat SMA, entah kenapa dia tiba-tiba meneleponku. Aku kenal dekat dengan dia saat kita sama-sama menjadi anggota koperasi sekolah.
            “Walaikumsalam, Nia, ada apa ya?”
            “Maaf nih mas, ganggu. Sampean sibuk hari ini?”
            “Oh, nggak kok, kayaknya penting nih?”
            “Nggak juga sih mas, ini kalau sampean santai nih. Kebetulan kita mantan anggota kopsis mau adakan acara baksos sekalian reuni. Mas mau ikut keliling ke lima panti asuhan di sekitar Kota Malang?”
            “Boleh, kebetulan aku punya banyak waktu. Acara nya kapan Nia?”
            “Besok mas, temenku bawa mobil kok, ntar kalau ada baju atau buku bekas yang masih layak bisa sampean bawa juga.”
            “Oke besok jam berapa?”
            “Kita bisanya sore sih mas, nunggu yang lain pulang kerja gitu, insyaAllah badha Ashar. Gimana mas?”
            “Oke kalau gitu, aku bisa.”
            “Ya udah, besok kita jemput ya mas, makasih udah ikut berpartisipasi.”
            “Sama-sama Nia.” Daripada meratapi galau ditolak kerja, mungkin acara ini sangat tepat sebagai pelipur lara.
***
            “Kenapa tiba-tiba ada baksos?”Tanyaku pada Nia
            “Ini mas, kas tahun kemarin yang aku pegang saat kita jadi anggota kopsis masih ada, maksudnya kas pribadi buat kita jalan-jalan. Tapi, daripada buat jalan-jalan sekali-kali kita bikin acara baksos ke panti gitu mas, cuma ini gak dirame-rame.”Jelas Nia
            “Ide bagus tuh, justru kalau amal kita mesti sembunyi-sembunyi ngapain rame-rame” Jawabku.
            “Kamu itu lucu Nia, amal kok disamain sama pesta.” Kata Abdul yang sedang membawa mobil.
            Dari keempat lima panti asuhan yang sudah kami singgahi. Panti asuhan terkahir ini yang membuat hatiku tersentuh. Tepat di tengah lapangan yang ditanami tanaman liar, kami memasuki bangunan panti itu. Miris, bangunannya tidak sebagus panti sebelumnya yang kita temui.
            Saat memasuki pintu gerbang, aku melihat anak-anak panti sedang tertidur pulas di teras. Senandung anak-anak lain bermain di taman lain. Sambil bernyanyi endog-endogan mereka bergandengan satu sama lain. Tangan mereka menumpuk menjadi satu. Jadi kangen masa- masa anak-anak.
            Dengan diiringi senandung mereka seiring kepalan tengan pecah (prek) membutuhkan interaksi dan konsentrasi penuh. Kebersamaan serta ikatan batin antar sesama harus saling membutuhkan agar bisa kompak berkonsentrasi penuh saat pecah..prek.. KI Hajar Dewantara mengajarkan rasa empati pada anak-anak di masa perjuangan lalu.”
            “Memang jaman sekarang sudah berubah ya Pak.”Kata Nia pada salah satu pengurus panti.
            “Nah,  bener mbak, sekarang rasa empati udah mati ketutup sama dampak sosmed.”
            “ Saya baru paham kalau filosofi saling membutuhkan dalam permainan itu sangat penting.” Kataku.
            “Selamat datang di sini Mbak dan Mas. Terimakasih udah repot bawa ini semua lho.”
            “Ini bukan hadiah yang besar Pak.”Kata Abdul.
            “Yang terpenting ikhlasnya yang besar,Nak. Semoga amal kalian dibalas oleh Allah”
            “Amiin.”
            “Oh iya, kalian bertiga nanti mau ada acara?”
            “Nggak ada, Pak. Ini panti terakhir yang kita tuju.” Jawabku.
            “Tolong jangan cepat-cepat pulang dulu ya! Saya akan memberikan sesuatu.”
            “Eh, nggak usah repot Pak.”Nia menyela.
            “Saya mohon, tunggulah sebentar, jangan menolak permintaan saya. Bukankah menyenangkan hati saya juga berpahala? Saya akan memasak sesuatu untuk kalian.”
            Kami bertiga berpandangan satu sama lain karena merasa sungkan. Pak Halim menyilahkan kami duduk di gazebo belakang sawah kecil. Di dalam gazebo, seorang anak menangis karena ditinggal Pak Halim menuju ke dapur.
            “Main sama Mas Mbaknya dulu ya!”
            “Emoh...”Anak itu tetap menangis.
            Akhirnya, aku memberanikan diri menghampirinya. Ada kertas tisu yang masih bersih berserakan di sampingnya. Dia tetap menangis karena ditinggal oleh Pak Halim.
            “Hey..dek..cup..liat Mas.” Aku melempar tisu tersebut dan tangisannya berhenti sesaat. “ Nih yah, Mas sobek tisunya ya...” kuambil sobekan itu dan kuselipkan dibalik lengan kaos, ku ambil tisu yang utuh yang sebelumnya sudah kusembunyikan. Buntalan tisu yang utuh itu kuberikan pada bocah tersebut.
            “Coba adek buka tisunya!”
            “Wah....tisunya gak sobek lagi.” Bocah itu terlihat ceria dan mendadak lupa dengan rasa sedihnya.
            “Sini...Mas pangku!” Bocah itu langsung berpindah ke arahku.
            “Nama kamu siapa dek?” Tanyaku
            “Wildan.” Jawabnya.
            “Makanan sudah siap.” Pak Halim memasak urap-urap sayur serta tempe mendoan.  Lengkap sudah dimakan saat fajar sore akan muncul.
            Wildan senang sekali makan bersama kami, bahkan ia manja sekali denganku. Setiap kali aku makan, ia sangat suka disuapin.
            “Wildan, Mas Galih kan mau makan, sini sama Bapak, ga usah ganggu mas nya.”
            “Nggak apa-apa Pak. Mumpung dia mau makan.”Jawabku.
            “Biasanya nggak suka sayur lho mas, enggak tau! sama Mas Galih kok mau?” Kata Pak Halim.
            “Hmmm...Mas Galih, itu udah kode kalau bentar lagi mesti nikah.” Nia terkekeh.
            Hari menjelang sore. Kami pun berencana untuk pulang. Sedangkan aku, masih asyik bermain dengan Wildan. Menurut Pak Halim, Wildan sangat takut kesepian karena ia masih merasa trauma saat kedua orangtuanya kecelakaan saat insiden kebakaran di pasar besar saat itu.
            “ Maaf Pak, kayaknya kita sudah waktunya pulang. Udah sore soalnya.” Abdul mengizinkan kami.
            “Kok terburu-buru!”
            “Saya merasa senang berada disini, tapi maaf, keluarga kita pasti juga menunggu di rumah Pak.” Kata Nia 
            “Oh, Ya sudah kalau begitu, terima kasih banyak ya Mas sama Mbak.”Kata Pak Halim  
            “Wildan, Mas pulang dulu ya! InsyaAllah suatu saat Mas kesini lagi!”
            “Jangan Mas...jangan tinggalin Wildan! Aku ikut Mas Galih pulang” Wildan mulai merengek, kedua matanya mulai berkaca-kaca.
            “Wildan! Mas nya besok mulai kerja, wildan besok juga sekolah kan, ayo Wildan pangku Bapak sekarang! “ Pak Halim mengambil Wildan dari pangkuanku. Wildan menyandarkan wajahnya menutupi punggung Pak Halim.
            Kami bertiga masuk ke mobil. Abdul melambaikan tangan pada semua penghuni panti. Saat mobil mulai berjalan, aku melihat ke arah jendela belakang. Wildan mulai menangis keras saat mobil mulai menjauh. Pak Halim mengarahkan tangan Wildan untuk melambaikan tangannya. Aku tahu perasaan Wildan, ia sangat benci perpisahan ini.
            “Mas, baper ya tak ajak kesini?” Nia menyodorkan tisu saat air mataku terjatuh.
            “Heem”
            “Karena berpisah sama Wildan?”
            “Bukan itu aja, ternyata aku merasa dibutuhkan bagi dunia Wildan, bahkan mungkin masih banyak Wildan lainnya juga.”
            “Mas! Kita semua di dunia saling membutuhkan.”
            “Iya, Tuhan sudah membuktikannya.” Jawabku
            “Maaf ya bro, nggak jadi ajak jalan-jalan ke pantai deh.” Kata Abdul sambil menyetir mobilnya.
            “Ini lebih dari sekedar liburan. Trimakasih untuk perjalanan yang berkesan ini ya.”
            Abdul memutar lagu Imagine The Beatless
            Lirik lagu yang mengalihkan perhatianku saat mendengar
            Imagine no posessions
            I wonder if you can
            No need for greed or hunger
            A brotherhood of man
            Imagine all the people
            Sharing all the world.
            Bayangkan tak ada harta benda, aku ragu apakah engkau mampu. Tak perlu rakus atau lapar. Persaudaraan manusia. Bayangkan semua orang berbagi di dunia ini.
            Bahkan alam pun saling membutuhkan yang terlihat tak mungkin bisa bertemu. Saat matahari senja hendak membenamkan wajahnya, rembulan mulai terlihat yang berjarak tidak jauh dari matahari. Keduanya saling membutuhkan untuk menghiasi langit ini. Baru ingat smartphone ku low bat, tidak mampu untuk mengambil gambar langit senja itu. Mengambil gambar lewat memoriku mungkin sudah jauh lebih berarti.
Terimakasih Ya Allah, ternyata, aku masih dibutuhkan oleh mereka. Berikan kesehatan supaya aku lebih kuat membantu Wildan-Wildan lainnya suatu saat nanti. Aku mungkin berpikir dunia tak membutuhkanku jika dunia ku sebatas karir dan materi. Tapi bagi dunia Wildan, aku satu-satunya yang dibutuhkan olehnya, karena dunia Wildan lebih luas dari pada sempitnya dunia pemikiranku. Dialah Wildan yang membuat hidupku lebih semangat untuk hari ini. Kata-kata itu muncul dari pemikiranku seiring menikmati perjalanan pulang.

Comments