Gejolak detak jantung dipagi itu terasa begitu kencang. Napas pun terasa begitu sengal dan sulit sekali untuk bernapas, padahal udara pagi itu sangat menyegarkan tubuh beserta organ-organ didalamnya. Entah ada apa dipagi itu sebenarnya, yang pasti hanya ku ingat kabar yang kurang menyenangkan dibalik suara handphone yang baru saja kutaruh di atas meja diteras rumah.
Berkali-kali ku mengatur napas agar bisa normal kembali, akan tetapi masih saja sulit untuk kulakukan. Anomali pagi itu terasa mengganggu benakku. Batinku terus saja mendorongku untuk mengecek pesan dibalik suara handphone-ku.
"Innalilahi wainna ilahi roji'un, Mas zaid, pamanmu Bapak Hidayat telah wafat mas tadi pagi jam 4 subuh, insyallloh dimakamkan setelah dhuhur menunggu keluarga yang jauh berkumpul dirumah. Sabar ya mas, semoga Pak Hidayat diampuni dosanya dan diberikan tempat yang terbaik disana. amin"
Sontak jantung yang sedari tadi begitu kencang detakannya terbukti dengan kabar dari Handphoneku. Aku pun lemas, dan tidak percaya jika sosok yang begitu menginspirasiku dari dulu telah meningglkan aku juga keluarga besar untuk selamanya.
Air mata pun seketika terjatuh seakan didorong oleh jantung yang ingin ikut bercerita tentang suasana pagi itu. Akupun tak bisa berkata-kata lagi. Dan segera berlari tanpa menghiraukan air mata yang baru saja tumpah dan membasahi pipiku.
Sepeda motor pemberian Almarhum beberapa tahun silampun ku naiki dan segera menuju rumah paman Hidayat yang jarak rumahnya lumayan jauh dari rumahku.
Disepanjang perjalanan, kenangan-kenangan bersama beliau semakin terlihat jelas. Bahkan seakan setiap detail kebersamaan bersamanya tidak luput dari ingatanku. Air matapun tetap saja mengalir.
Dari sekian keluarga besarku, paman Hidayat-lah sosok yang paling sering memberi semangat saat ku mulai putus asa dalam menjalani hidup. Dan yang paling ku ingat waktu ku masih menyandang sebagai mahasiswa dialah yang selalu mengingatkanku akan tanggung jawabku sebagai anak dan mahasiswa.
"Ada apa le ko keliatanya kamu ada masalah?" tanya paman waktu itu.
"Gak ada paman, saya hanya kepikiran tugas kuliah yang begitu banyaknya. Ko kuliah begini ya paman!" keluhku pada paman.
"yak apa sih kamu itu le.."
"kuliah ya memang begitu, la emangnya kamu ngeliatnya kayak gimana kuliah itu, he?"
"ya tak kira gak kayak di SMA paman, yang gak terlalu banyak tugas dan bebas untuk melakukan apapun"
"lo alah, kuliah itu ya sebenernya tergantung kamunya le"
"kamu gak ngerjakan tugas, gak masuk kuliah atau kerjaannya cuman pacaran aja ya terserah kamu le"
"Tapi paman masak ya gak ada jeda sebentar untuk liburan to", sergah Zaid.
"ya nanti kan ada liburnya to zaid, kamu ini piye to, kalau kuliah itu panjang lo liburannya jangan salah kamu ini".
"tetep semangat jika kita mencari ilmu, orang berilmu itu tidak ada ruginya, itupun jika kamu mencarinya dengan sungguh-sungguh".
Nasehat paman waktu itu benar-benar masih terpatri dalam ingatanku. Nada beliau pun masih ku dengar dengan jelas, walau dhohir beliau tidak terwujud nyata dihadapanku.
***
Jarum speedometer sepeda motor terus melesat mendekati 80 km/jam. Perasaan dihati terlampau ramai riuh rendah dengan semakin sulitnya diriku untuk bernafas. Jalan lurus, belokan perempatan, hingga gang-gang kecil kulewati agar bisa sampai dirumah duka.
Aku masih merasakan jika paman masih hidup. Tapi, lagi-lagi suara telpon pagi tadi mengingatkanku jika paman yang hendak ku temui sudah berpulang, hanya raga tak berjiwa.
Pagar tak bergerbang semakin terlihat dikejauhan sana. Disana tertancap kenangan sewaktu aku menanti kepulangan paman dari bekerja setiap sore hari. Kebiasaanku waktu kecil itu terus saja kuulang setiap aku berkunjung ke rumah beliau. Dan kini, bukannya aku menunggu paman lagi, aku harus mengantarkan paman pulang dari pagar itu.
Bacaan Tahlil terus berkumandang tiada henti. Bunga dengan berbagai macam jenis, papan kayu dengan ukuran yang sama, serta batu nisan dengan goresan nama paman sudah siap.
Lagi-lagi sepertinya aku gak kuat lagi menahan perasaan yang sepertinya ingin terluapkan dengan sekuat-kuatnya. Air mata yang terus kuusap terus saja mengalir. Sembari ku menopang keranda yang sebagai kendaran terakhir ini, seolah suara paman terdengar membisiki ku,
"le, kamu harus kuat, hidup masih berlanjut. Terus berbuat baiklah walaupun kamu disakiti orang lain".
Itu adalah nasihat paman yang sering ku dengar sewaktu dia masih ada. Nasihat yang diucapkan secara tulus itu, akan terus terpatri dalam sanubari yang paling dalam. Ku akan mengamalkan apa yang diinginkan paman dan yang baik bagiku.
Berkali-kali ku mengatur napas agar bisa normal kembali, akan tetapi masih saja sulit untuk kulakukan. Anomali pagi itu terasa mengganggu benakku. Batinku terus saja mendorongku untuk mengecek pesan dibalik suara handphone-ku.
"Innalilahi wainna ilahi roji'un, Mas zaid, pamanmu Bapak Hidayat telah wafat mas tadi pagi jam 4 subuh, insyallloh dimakamkan setelah dhuhur menunggu keluarga yang jauh berkumpul dirumah. Sabar ya mas, semoga Pak Hidayat diampuni dosanya dan diberikan tempat yang terbaik disana. amin"
Sontak jantung yang sedari tadi begitu kencang detakannya terbukti dengan kabar dari Handphoneku. Aku pun lemas, dan tidak percaya jika sosok yang begitu menginspirasiku dari dulu telah meningglkan aku juga keluarga besar untuk selamanya.
Air mata pun seketika terjatuh seakan didorong oleh jantung yang ingin ikut bercerita tentang suasana pagi itu. Akupun tak bisa berkata-kata lagi. Dan segera berlari tanpa menghiraukan air mata yang baru saja tumpah dan membasahi pipiku.
Sepeda motor pemberian Almarhum beberapa tahun silampun ku naiki dan segera menuju rumah paman Hidayat yang jarak rumahnya lumayan jauh dari rumahku.
Disepanjang perjalanan, kenangan-kenangan bersama beliau semakin terlihat jelas. Bahkan seakan setiap detail kebersamaan bersamanya tidak luput dari ingatanku. Air matapun tetap saja mengalir.
Dari sekian keluarga besarku, paman Hidayat-lah sosok yang paling sering memberi semangat saat ku mulai putus asa dalam menjalani hidup. Dan yang paling ku ingat waktu ku masih menyandang sebagai mahasiswa dialah yang selalu mengingatkanku akan tanggung jawabku sebagai anak dan mahasiswa.
"Ada apa le ko keliatanya kamu ada masalah?" tanya paman waktu itu.
"Gak ada paman, saya hanya kepikiran tugas kuliah yang begitu banyaknya. Ko kuliah begini ya paman!" keluhku pada paman.
"yak apa sih kamu itu le.."
"kuliah ya memang begitu, la emangnya kamu ngeliatnya kayak gimana kuliah itu, he?"
"ya tak kira gak kayak di SMA paman, yang gak terlalu banyak tugas dan bebas untuk melakukan apapun"
"lo alah, kuliah itu ya sebenernya tergantung kamunya le"
"kamu gak ngerjakan tugas, gak masuk kuliah atau kerjaannya cuman pacaran aja ya terserah kamu le"
"Tapi paman masak ya gak ada jeda sebentar untuk liburan to", sergah Zaid.
"ya nanti kan ada liburnya to zaid, kamu ini piye to, kalau kuliah itu panjang lo liburannya jangan salah kamu ini".
"tetep semangat jika kita mencari ilmu, orang berilmu itu tidak ada ruginya, itupun jika kamu mencarinya dengan sungguh-sungguh".
Nasehat paman waktu itu benar-benar masih terpatri dalam ingatanku. Nada beliau pun masih ku dengar dengan jelas, walau dhohir beliau tidak terwujud nyata dihadapanku.
***
Jarum speedometer sepeda motor terus melesat mendekati 80 km/jam. Perasaan dihati terlampau ramai riuh rendah dengan semakin sulitnya diriku untuk bernafas. Jalan lurus, belokan perempatan, hingga gang-gang kecil kulewati agar bisa sampai dirumah duka.
Aku masih merasakan jika paman masih hidup. Tapi, lagi-lagi suara telpon pagi tadi mengingatkanku jika paman yang hendak ku temui sudah berpulang, hanya raga tak berjiwa.
Pagar tak bergerbang semakin terlihat dikejauhan sana. Disana tertancap kenangan sewaktu aku menanti kepulangan paman dari bekerja setiap sore hari. Kebiasaanku waktu kecil itu terus saja kuulang setiap aku berkunjung ke rumah beliau. Dan kini, bukannya aku menunggu paman lagi, aku harus mengantarkan paman pulang dari pagar itu.
Bacaan Tahlil terus berkumandang tiada henti. Bunga dengan berbagai macam jenis, papan kayu dengan ukuran yang sama, serta batu nisan dengan goresan nama paman sudah siap.
Lagi-lagi sepertinya aku gak kuat lagi menahan perasaan yang sepertinya ingin terluapkan dengan sekuat-kuatnya. Air mata yang terus kuusap terus saja mengalir. Sembari ku menopang keranda yang sebagai kendaran terakhir ini, seolah suara paman terdengar membisiki ku,
"le, kamu harus kuat, hidup masih berlanjut. Terus berbuat baiklah walaupun kamu disakiti orang lain".
Itu adalah nasihat paman yang sering ku dengar sewaktu dia masih ada. Nasihat yang diucapkan secara tulus itu, akan terus terpatri dalam sanubari yang paling dalam. Ku akan mengamalkan apa yang diinginkan paman dan yang baik bagiku.
ولدتك امك يا
ابن آدم باكيا والناس حولك يضحكون
سرورا
فاجهد لنفسك
ان تكون إذا بكوا فى يوم موتك ضاحكا مسرورا
Ketika ibumu melahirkanmu, Wahai anak cucu Adam
Engkau menangis, sedang orang-orang di sekitarmu
Menyambutmu dengan riang
Maka, bekerjalah sungguh-sungguh untukmu sendiri
ketika engkau tak lagi bersama mereka selamanya,
mereka menangis tersedu-sedu
Sedang engkau pulang sendiri sambil tersenyum manis
Engkau menangis, sedang orang-orang di sekitarmu
Menyambutmu dengan riang
Maka, bekerjalah sungguh-sungguh untukmu sendiri
ketika engkau tak lagi bersama mereka selamanya,
mereka menangis tersedu-sedu
Sedang engkau pulang sendiri sambil tersenyum manis
Comments