Angkasa Senyap Dalam Keriuhan

           
Angkasa Senyap Dalam Keriuhan
(Oleh: Chandra W. Hartato)



Angkasa.  Mereka memberikan nama itu sebagai rasa syukur atas kelahiranku. Tepat saat ayahku sedang mengarungi angkasa dengan pesawat terbarunya, Ibu menyambut kehidupan baruku di dunia ini. Ibu dan Ayah memanggilku dengan sebutan Asa karena mereka ingin aku menjadi manusia tangguh untuk meraih Asa dan semua mimpiku.
            Sepanjang menikmati masa-masa hidupku, aku mengenal bahwa ibuku adalah sosok wanita yang sangat cantik dan baik hati. Begitu juga ayahku. Ia adalah karakter pria yang sangat tegas dan mengajarkanku untuk tidak jatuh. Sekali menangis, ayah mengajarkan untuk bangkit lagi. Aku merasa bersyukur memiliki ayah yang sangat tegar.
            Aku baru paham apa itu arti cantik dan tampan setelah aku mengenal sosok ayah dan ibu. Bagiku cantik dan tampan merupakan  kebaikan sejati dari pemikiran mereka. Suara-suara mereka saat memberikan semangat adalah salah satu wujud dari tampan dan cantik itu sendiri.
            Saat aku mulai belajar untuk berjalan. Aku paham bahwa bentuk jalan tidak sesempit yang aku pikirkan. Justru pemikiranku yang sempit. Ada banyak jalan yang bisa aku lalui ketika aku meraba dan menyentuh sesuatu yang bisa aku gapai. Wah, menyenangkan. Ternyata, aku bisa berjalan dengan peganganku sendiri. Yah, aku punya cara untuk bisa berjalan tanpa berpegangan orang lain. Kugenggam dua bola pada kedua tanganku seiring dengan langkahku yang terbata-bata. Satu bola mencoba aku lepas dan berajalan kembali walaupun tertatih-tatih. Akhirnya, aku bisa berjalan sendiri dan membayangkan kalau ada tangan seseorang yang selalu memegangiku.
            Ketika bermain, aku tahu mereka baru mengenalku. Riuh suara anak-anak dalam kesunyian masih aku rasakan. Mungkin ini dunia baruku berkenalan dengan teman-teman bermain.  Senang sekali dunia ku ternyata tidak sesunyi yang aku pikirkan. Suara riuh itu mengingatkanku bahwa ternyata dunia ini  tidak diisi oleh ayah dan ibu tetapi oleh banyak teman-teman bahkan orang lain.
            Apakah semua orang di dunia ini cantik dan tampan. Mungkin saja mereka adalah orang-orang baik seperti aku mengenal ayah, ibu, kakak, tante, kakek dan nenek yang menyayangiku semua.  Perlahan-lahan aku mencoba melangkah ke pusat suara-suara itu.
            “Ini mobil kan? Ada rodanya?” Tanyaku dengan suara yang keras sambil meraba-raba bentuk mainan itu. Jika ada empat roda, aku tahu itu mainan mobil-mobilan.
            “Nggak boleh!” Suara anak itu meninggi dan segera merebut mainan yang aku pegang. Mungkin mobil itu miliknya.
            “Aku mau kerjakan tugas sekolah, kamu pasti nggak sekolah kan?”Suara anak itu seakan meledekku. Ternyata, tidak semua orang di dunia cantik dan tampan. Ada juga yang jelek. Mereka-mereka yang sering membuatku sedih.
            Setelah itu, keriuhan anak-anak semakin menjauh dari pendengaranku. Mereka menjauhiku karena aku belum sekolah. Sedangkan mereka sekolah sehingga mereka mengerjakan tugas dari sekolah di rumahnya masing-masing.  Kini, kesunyian ini baru aku rasakan lagi.
            Setelah aku memahami bahwa dunia itu keras. Aku mengerti kalau tidak semua orang itu baik seperti ibu, ayah, kakak, dan nenek. Ternyata masih ada orang yang jelek tanpa aku harus merabanya. Aku kaget menghadapi dunia gelap.  Begitu memahami bahwa dunia ini memiliki sisi gelap, tanpa terasa ada air yang keluar dari mataku. Walaupun pandanganku  gelap, aku bisa memahami arti kesedihan lewat air mata yang keluar dari mata turun ke pipi ini. Aku tidak tahu apa ini yang namanya sedih dan kecewa?
            “Bu, aku ingin sekolah.” Pintaku pada Ibu.
            “Pasti, Nak.” Jawab Ibu.
            “Aku nanti sekolah sama teman-teman itu ya, Ma!”Pintaku pada ibu lagi.
            “Ibu pasti cari sekolah yang terbaik buat Asa tetapi tetap bisa bermain sama temen-temen di sekolah ini.”Jawab Ibu lagi.
            “Hore, aku bisa sekolah sama teman-teman.”Teriakku girang. Aku terbiasa berbicara dengan suara keras karena aku sangat suka dengan suara-suara. Hanya dengan itu yang aku sukai.  Apalagi nyanyian dan musik, aku sangat suka menirukannya.
            Dibalik keceriaan Angkasa, sang Ibu meneteskan air matanya. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan kalau dia akan ditempatkan di Sekolah Luar Biasa. Namun, ia tersenyum setelah sang Ibu berpikir bahwa Angkasa suatu saat pasti akan paham bahwa ia anak yang lebih istimewa daripada anak lain seusianya. Ia paham bahwa kelak Angkasa memiliki pandangan yang lebih luas,bahkan lebih luas dari namanya sendiri.
           
           

Comments